Berkurban untuk Orang yang Sudah Meninggal

Bolehkah berkurban untuk orang yang sudah meninggal?

Hukum berkurban adalah sunnah muakkad, sedangkan ibadah kurban sendiri dilakukan setiap tahun sesuai dengan kemampuan. Berkurban untuk mayit ada tiga keadaan:

1. Berkurban khusus untuk mayit karena sebelum meninggal mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berkurban untuk dirinya.

Dalam hal ini hukumnya wajib ditunaikan dan pahalanya sampai kepada mayit, karena wasiat adalah amanah.

Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنۢ بَدَّلَهُۥ بَعۡدَ مَا سَمِعَهُۥ فَإِنَّمَآ إِثۡمُهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ

“Siapa mengubahnya (wasiat itu), setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 181).

Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Berkurban atas nama mayit, jika dia pernah berwasiat yang nilainya kurang dari sepertiga hartanya, atau dia mewakafkan hewannya maka wajib ditunaikan…” (Risalah Fiqhiyah Ibn Utsaimin, Ahkam Udhiyah).

2. Berkurban untuk orang yang telah meninggal dengan dibarengi niat kurban untuk keluarga yang masih hidup.

Misalnya, seseorang berniat kurban untuk dirinya dan kerabat yang masih hidup, juga berniat untuk kakek atau neneknya yang telah meninggal. Ini dibolehkan dan pahala kurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk kakek atau neneknya yang sudah meninggal.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda saat beliau menyembelih hewan kurban,

باسم الله اللهم تقبل من محمد وآل محمد

“Bismillah, Ya Allah, terimalah pahala kurban ini sebagai kurban dariku dan keluargaku” (HR. Muslim).

3. Berkurban khusus untuk orang yang meninggal tanpa adanya wasiat dari mayit.

Misalnya seseorang berniat kurban untuk orang tuanya yang sudah meninggal tanpa wasiat dari orang tuanya dan tanpa mengikutsertakan keluarganya yang masih hidup dalam niatnya.

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,
1. Menurut ulama mazhab Hambali dan jumhur ulama (mayoritas), pahalanya bisa sampai kepada mayit. Dasar mereka adalah qiyas (analogi) dengan sampainya pahala sedekah atas nama mayit.
2. Mazhab Syafi’i berpendapat, pahala tidak sampai.
3. Mazhab Maliki mengatakan, makruh.
Sumber: www.islamweb.net

Ulama yang berpendapat bahwa pahala tidak sampai pada mayit mengemukakan, menyamakan ibadah kurban dengan sedekah adalah analogi yang kurang tepat. Karena tujuan utama berkurban bukan semata untuk sedekah dengan dagingnya, tetapi lebih pada bentuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih.

Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Pada kenyataannya, ibadah kurban tidak dimaksudkan semata untuk sedekah dengan dagingnya atau memanfaatkan dagingnya.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Dagingnya maupun darahnya tidak akan sampai kepada Allah, namun yang sampai kepada kalian adalah taqwa kalian.” (QS. Al-Haj: 37)

Namun yang terpenting dari ibadah kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih.” (Syarhul Mumthi’, 7:287).

Syaikh Ibn Utsaimin juga mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki beberapa anak laki-laki dan perempuan, para istri, dan kerabat dekat yang beliau cintai, yang meninggal dunia mendahuluinya. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkurban secara khusus atas nama salah satu diantara mereka. Nabi tidak pernah berkurban atas nama pamannya Hamzah, istrinya Khadijah juga Zainab binti Khuzaimah, dan tidak pula untuk tiga putrinya dan anak-anaknya radliallahu ‘anhum. Andaikan ini disyariatkan, tentu akan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam bentuk perbuatan maupun ucapan. Akan tetapi, seseorang hendaknya berkurban atas nama dirinya dan keluarganya. (Syarhul Mumthi’, 7:287).

Demikian, Wallahu a’lam.